SELAMAT DATANG

Kamis, 16 September 2010

SORONG SERAH AJIKRAME
Sorong serah aji krame adalah sebuah ritual adat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian pernikahan di Pulau Lombok. Sorong serah aji krame secara harfiah diartikan ; pertama, suatu dorongan kepada kedua orang tua pengantin untuk menyerahkan atau melepaskan (Serah Terima) anak mereka untuk hidup berumah tangga sehingga, kedua pengantin tidak terikat pada orang tua mereka masing – masing, yang kedua, merupakan puncak sidang krame adat perkawinan untuk masyarakat (bangse) sasak. Oleh karena itu prosesi adat ini, akan dianggap syah apabila dihadiri ; para sesepuh, para tetua adat (penglingsir), dan kepala kampung (keliang), dari kedua pihak pengantin, baik dari pihak pengantin laki-laki maupun pihak pengantin perempuan.
Dalam proses sidang adat tersebut akan disampaikan kepada pihak-pihak yang telah disebutkan dan khalayak ramai bahwa kedua mempelai telah Syah bersuami Istri.
Prosesi sorong serah aji krame adalah bagian dari rangkaian panjang tradisi untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Lombok, diawali dengan prosesi midang, yakni prosesi adat yang sudah merupakan konvensi masyarakat Sasak dimana pihak laki-laki akan berkunjung kepada perempuan yang menurutnya menarik hati. Midang sendiri bukan dilaksanakan semata karena lelaki tersebut ingin menikahi perempuan yang di pidang, adakalanya pihak lelaki hanya sekedar iseng untuk mengisi malam sebelum ngantuk. Oleh karena itu, dalam tradisi midang, terdapat awig-awig yang mengatur tata cara midang. Secara umum, aturan-aturan itu meliputi; waktu berkunjung, lama berkunjung, tata cara berkunjung, dan sebagainya.
Jika terdapat kecocokan antara laki-laki yang midang dengan perempuan yang di-pidang, maka selanjutnya yang dilakukan adalah prosesi melaik (melarikan perempuan, dalam aturan umum seharusnya dilakukan pada malam hari-red). Dalam melaik, sangat tabu bagi masyarakat sasak untuk membawa perempuan calon isterinya tersebut untuk langsung ke rumah orang tua laki-laki. Dalam kepercayaan masyarakat Sasak, hal ini dilakukan untuk membuang sial, tetapi secara logika, ada kemungkinan hal ini dilakukan karena pihak laki-laki (calon pengantin) takut kepada orang tuanya, karena pada umumnya dalam tradisi masyarakat Sasak, keterbukaan untuk mengungkapkan keinginan menikah kepada orang tua jarang dilakukan, terutama pada masyarakat tempo dulu, (kondisi ini pada saat sekarang berkembang di masyarakat yang tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah -red)1. Oleh sebab itu maka sangat wajar ketika pihak pengantin laki-laki takut untuk membawa pengantin perempuannya untuk langsung ke rumah orang tuanya, disamping alasan mistik yang sudah disebutkan sebelumnya.
Sesampai dirumah tempat persembunyian (biasanya kerabat dekat orang tua pihak laki-laki), selanjutnya akan dilakukan prosesi merangkat yaitu suatu acara makan berdua sebagian awal dari sebuah proses perkawinan, acara merangkat ini, dilakukan langsung pada malam ketika kedua mempelai telah tiba. Dalam prosesi ini pengantin biasanya akan ditemani oleh satu orang perempuan tua atau salah seorang keluarga dekat dari calon pengantin laki (dulu disebut Inaq Umbaq/Ibu Angkat). Dikatakan merangkat karena makanan untuk calon mempelai disajikan dengan menggunakan satu wadah yang berisi satu butir telur ayam kampung, satu piring nasi, satu satu ekor ayam bakar panggangan lengkap dengan bumbunya (dulu wadahnya memakai dulang (piring dari kayu) dan ditutup dengan tembolaq daun duntal (tutup nasi dari daun lontar) berwarna merah. Pada saat makan tersebut, biasanya pihak laki-laki atau Inaq Umbaq (ibu angkat) akan bercerita tentang situasi keluarga, keadaan kampung, keadaan masyarakat kampungnya dan lain-lain, adapun maksud dari, penyampaian itu supaya calon pengantin wanita mengetahui situasi, kondisi, serta budaya dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat. Acara ini kemudian akan diramaikan kaum muda-mudi yang datang untuk menyaksikan calon pengantin wanita sambil membawa rokok, ayam, telur, gula, kopi, teh dan lain-lain, sebagai bentuk solidaritas kepada kawannya yang telah menikah.
Setelah berselang minimal 3 (tiga) hari dan maksimal 5 (lima) hari maka akan dilakukan proses sejati. Sejati merupakan proses penyampaian informasi/pemberitahuan pihak keluarga laki-laki bersama perangkat desa (biasanya oleh kepala kampung) kepada kepala desa pihak pengantin perempuan (Pengamong Krame) yang selanjutnya informasi akan dilanjutkan kepada kepala dusun atau keliang (Pengemban Krame), tentang prosesi melaik yang telah dilakukan anggota masyarakatnya, terhadap seorang perempuan dari warga di kampung tersebut.
Prosesi selanjutnya adalah selabar (sebar kabar). Selabar ini dilakukan setelah proses sejati selesai dijalankan dan diterima dengan baik oleh pihak pemerintah desa atau Keliang. Tujuan selabar dapat langsung kepada orang tua dan sanak saudara calon pengantin wanita melalui keliang selaku pendamping keluarga selaku penanggung jawab pemerintahan yang ada di dusun atau kampung tersebut.
Prosesi selanjutnya adalah nuntut wali (meminta wali), dalam pelaksanaan nuntut wali, apabila hal-hal yang penting di dalam adat proses adat sudah selesai dibicarakan, maka wali (ayah, paman, kakak dari si pengantin perempuan) sudah bisa diajak untuk mengawinkan kedua calon pengantin (biasanya ditempat pengantin laki-laki) proses ini tentunya setelah melewati musyawarah dari kedua belah pihak keluarga calon pengantin wanita dan keluarga calon pengantin laki. Wali di jemput oleh beberapa orang dari pihak pengantin laki dan membawa seorang pemuka agama, Kyai, Ustad, atau Tuan Guru, yang akan bertindak sebagai penghulu.
Selanjutnya adalah prosesi rebaq pucuk, bait janji, nunas panutan, artinya meminta kepatutan atau kewajaran untuk biaya selamatan atau syukuran. Prosesi ini dilakukan oleh pihak perempuan, prosesi ini biasanya berbentuk musyawarah yang dilakukan pihak keluarga pengantin wanita yang bertujuan untuk menyepakati finansial yang akan dibebankan kepada pihak keluarga laki-laki berkaitan dengan prosesi syukuran yang juga akan dilakukan oleh pihak keluarga perempuan. Prosesi ini biasanya dilakukan setelah ada kepastian waktu pelaksanaan prosesi syukuran yang akan dilaksanakan oleh keluarga pihak pengantin laki-laki.
Prosesi berikutnya adalah sedawuh. Sedawuh dilakukan 7 hari sebelum hari syukuran (gawe). Prosesi sedawuh ini dilaksanakan oleh pihak pengantin laki dengan mengutuskan 1 atau 2 orang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga pengantin perempuan tentang kesiapan mereka untuk menjalani karya adat (syukuran) dan yang paling utama yang dibicarakan adalah tentang ketetapan hari ( H ), lambang adat aji krame atau aturan diluar aji krame dan tata cara nyongkol2.
Serangkaian dengan acara nyongkol tersebut, dilaksanakan acara sorong serah aji krame. Prosesi sorong serah aji krame dapat dipandang sebagai sidang adat yang berlangsung untuk membahas segala persoalan yang berkaitan dengan prosesi pernikahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan semua hal dari sejak prosesi midang, melaik dan seterusnya hingga acara sorong serah itu berlangsung. Segala hal yang tidak sesuai yang pernah dilakukan baik oleh pengantin laki-laki baik terhadap keluarga isterinya, terhadap saingannya sewaktu masih menjalani prosesi midang, maupun kesalahan-kesalahan adat yang disebabkan perbedaan tafsir adat masing-masing pihak, semuanya akan dibahas dalam sidang tersebut, sehingga pada akhirnya semua pihak akan secara ikhlas menutup segala hal yang telah berlalu dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pengantin untuk memulai hidup mereka dengan tanpa ada lagi ganjalan-ganjalan baik dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan adat.
Prosesi adat sorong serah biasanya dipimpin pembayun dari pihak laki-laki dan pembayun dari pihak perempuan. Kedua pembayun awalnya akan berdebat tentang berbagai hal, kemudian membahas pelanggaran-pelanggaran adat yang pernah terjadi (jika ada), terutama yang dilakukan oleh pihak dari laki-laki, kemudian menyelesaikannya secara adat. Penyelesaian secara adat ini biasanya disimbolkan dengan ketentuan membayar sejumlah denda adat yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki, disamping itu, dalam prosesi ini juga akan membayar aji krame (harga krame mulai dari 33, 66, hingga yang tertinggi 99=100).
Harga aji krame sendiri biasanya merupakan kesepakatan yang terlah diturunkan oleh leluhur berdasarkan kelompok masyarakat tersebut 3. Dalam pelaksanaannya Sorong serah aji krame, didominasi penggunaan bahasa jawa kuno atau kalau dalam istilah masyarakat Lombok dikenal dengan istilah bahasa Jawi. Disampaing dalam sorong serah tersebut persoalan-persoalan yang dibahas biasanya menggunakan bahasa Jawi yang diawali, diselingi dan ditutup dengan tembang-tembang yang dilagukan dengan begitu merdu sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar untuk berkumpul menyaksikan prosesi adat tersebut, walaupun sebenarnya secara detail, masyarakat tidak mengerti dan memahami apa yang dibahas dalam prosesi tersebut, tetapi keindahan tembang dan kemerduan penyampaian prosesi tersebut yang dibarengi oleh tembang-tembang kemudian menjadi pemikat tersendiri.

Senin, 13 September 2010

ARYA BANJAR GETAS, SELAYANG PANDANG DALAM BABAD LOMBOK DAN BABAD SELEPARANG
Habiburrahman

Hingga saat ini, sudah cukup banyak babad di Lombok yang sudah dikenali bahkan sudah dtranskripsi ke dalam tulisan latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di antara babad-babad tersebut misalnya; babad Lombok, babad Seleparang, Babad Sakra, Babad Praya dan lain-lain. Pada umumnya, babad-babad tersebut mengungkapkan peristiwa penting yang pernah dialami ditempat-tempat tertentu, misalnya, Babad Sakra yang menceritakan penyerangan Karangasem ke daerah Sakra, atau babad Praya yang menceritakan penyerangan yang dilakukan Karangasem ke Praya.
Babad Lombok menceritakan tentang riwayat dari Nabi Adam hingga hancurnya dua kerajaan besar di Lombok yakni Pejanggik dan Seleparang, sementara Babad Seleparang hanya mengambil sebagian dari rentang peritiwa tersebut yakni kehancuran Pejanggik dan Seleparang.
Babad Lombok secara keseluruhan memuat 1218 bait (Suparman, 1994 : VIII)13. Isi babad tersebut secara secara umum; dari bait pertama hingga bait 977 berisi uraian sejarah penulis babad, sejarah dari Nabi Adam hingga menyebar dan menjadi penghuni paling awal yang menurunkan masyarakat Lombok. Pada bagian berikutnya, dimulai dari bait 978 sampai bait 989, kedudukan ABG di Seleparang mulai muncul.
Mulai bait 990 sampai bait 1060, babad Lombok beralih mengupas pengangkatan raja baru menggantikan prabu Seleparang yang sudah tua, pengganti Prabu Seleparang sendiri berasal dari Bayan, hal ini terjadi karena Prabu Seleparang hanya memiliki puteri, akhirnya beliau kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada menantunya yang selanjutnya bergelar Prabu Mraja Anom. Peralihan kekuasaan tersebut dilakukan setelah raja menggelar prosesi pernikahan puterinya dengan pesta yang sangat meriah hingga tujuh hari-tujuh malam.
Selesai menjelaskan upacara pernikahan tersebut, bait-bait selanjutnya dalam babad Lombok menguraikan kemakmuran Kerajaan Seleparang, penataan wilayah sekitar kerajaan yang dilakukan Prabu Mraja Anom, pembangunan tempat ibadah (masjid), hingga kemudian beliau tua, puteri beliau memiliki putera dan akhirnya beliau mangkat.
Nama ABG yang sudah berganti menjadi Raden Wira Candra mulai muncul lagi pada bait 1061 hingga bait 1217, pergantian nama ABG menjadi Wira Chandra berkaitan dengan pelarian ABG dari Seleparang dan meminta perlindungan di Pejanggik. Pada perkembangan selanjutnya, ABG menjadi orang terdekat Raja Pejanggik.
Dalam Babad Seleparang yang keseluruhan baitnya berjumlah lebih dari 670 bait, nama ABG semasa di Seleparang bernama Arya Sudarsana, muncul mulai dari bait 2 hingga bait terakhir.
Walaupun mengungkapkan sosok yang dianggap sama, diantara kedua babad tersebut terdapat perbedaan dalam menguraikan kedudukan dan peran ABG, secara lebih rinci perbedaan tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini;
• Alasan di usir dan digempurnya ABG oleh Raja Seleparang, di dalam babad Lombok disebutkan pada Bait 979. Adapun alas an tersebut adalah karena puteri raja tergila-gila pada ABG sehingga Raja kemudian marah. Pada Babad Seleparang alasan tersebut terdapat pada bait ke 5, dalam bait tersebut menguraikan pengusiran dan penggempuran ABG oleh raja Seleparang disebabkan karena ketika akan menghadap kepada raja, kedatangan ABG beserta 100 orang pasukannya telah menimbulkan keramaian luar biasa di kerajaan. Semua orang ingin melihatnya, tidak terkecuali permaisuri keraton. Dalam kesempatan itu, ABG beserta pasukannya sebenarnya juga berniat melakukan acara sawur paksi (pelepasan burung dara). Sebelum niat sawur paksi dan dilanjutkan menghadap raja tersampaikan, terjadi tragedi di istana. Permaisuri yang mencoba melihat acara tersebut dengan menaiki dinding istana menggunakan tangga terjatuh dan pingsan. Kejadian ini mengakibatkan raja menjadi murka dan memerintahkan bawahannya untuk menangkap ABG.
Babad Lombok memandang, kedekatan puteri raja dengan ABG yang menyebabkan ABG diusir oleh raja, sementara dalam babad Seleparang, tragedi yang dialami oleh isteri raja yang menjadi penyebab. Mengenai kedudukan ABG selama di seleparang, kedua babad cenderung sepaham.
• Persoalan yang menjadi pemicu pemberontakan ABG terhadap Raja Pejanggik dalam babad Lombok diuraikan mulai dari Bait 1067 dan 1068. Dalam bait tersebut menyebutkan bahwa raja sangat terpesona melihat kecantikan isteri Raden Wira Candra (ABG). Agar bisa mendekati isteri Wira Chandra, raja kemudian memerintahkan Raden Wira Chandra untuk pergi ke Bali, menghadap kepada Raja di Kelungkung untuk meminta kebutuhan dapur, karena Raja berniat hendak menyelenggarakan pesta. Dari bait 1089- 1093 masih pada babad Lombok menguraikan, sepeninggal ABG, Raja Pejanggik kemudian memanggil seluruh istri pembesar istana, termasuk Lala Junti istri ABG untuk menenun di kerajaan. Kegiatan tersebut berlangsung sampai sore, ketika isteri-isteri pembesar yang lain pulang, Lala Junti tidak diperkenankan untuk pulang. Pada malam harinya, raja kemudian memperkosa Lala Junti. Ketika hal itu disampaikan lewat surat kepada ABG, dia tidak serta-merta mempercayai isterinya, tetapi ketika berburu dengan raja sekembalinya dari Kelungkung, secara tidak sengaja dia melihat selendang isterinya digunakan di dalam baju Raja, ABG kemudian marah dan melakukan pemberontakan.
Pada babad Seleparang, pemicu pemberontakan ABG terhadap Pejanggik adalah faktor keluarga. Mulai bait 392 dijelaskan, sekembalinya dari Bali dalam menunaikan titah Raja Pejanggik, ABG tidak langsung pulang ke Tapon (tempat dia bersama isterinya tinggal. Dari Pejanggik ke Tapon jaraknya sekitar 3 KM-pen), tetapi singgah terlebih dahulu untuk menemui isterinya Lala Cindra yang tinggal bersama adik mertuanya di Bayan. Lala Cindra sendiri ke Bayan ketika ABG diserbu untuk kesekian kalinya oleh pasukan Seleparang ketika masih di Perigi. Di saat kekuatan pasukannya waktu itu kian melemah, pasukan wanita ABG kemudian melarikan Lala Cindra menuju Bayan. ABG sendiri melarikan diri ke Memelak (Praya sekarang-pen). Sejak saat itu, ABG tidak pernah bertemu lagi dengan Lala Cindra hingga ketika dia kembali dari Bali, dia memutuskan tidak langsung kembali ke Pejanggik, tetapi singgah terlebih dahulu selama dua bulan mengunjungi Lala Cindra.
Sekembalinya dari Bayan, ABG kemudian menyampaikan keberadaan istri tuanya kepada Lala Junti (isteri mudanya), sekaligus meminta ijin kepada Lala Junti untuk kembali ke Bayan dan tinggal di sana selama 1 bulan lagi. Hal itu kemudian membuat Lala Junti menjadi sangat marah dan mengusir ABG. ABG kemudian pergi meninggalkan Tapon dengan tujuan ke Bayan. Sesampainya di Ampenan, tidak satupun perahu yang akan ke Bayan yang dia temukan. Dengan terpaksa dia akhirnya menumpang ke Bali dengan niat, di Bali dia akan mencari perahu yang akan ke Bayan untuk menumpang. Sesampai di Bali, dia bertemu dengan salah seorang temannya I Gusti Bagus Alit yang kemudian mengajaknya menghadap ke Raja Karangasem. Raja Karangasem kemudian mengingatkannya tentang peristiwa pengusirannya dari Seleparang dan menyarankannya untuk membalas kejadian tersebut dengan terlebih dahulu menyerang Pejanggik.
Babad Lombok memandang kebusukan Raja yang hendak memperkosa isteri ABG sebagai pemicu munculnya persekongkolan ABG dengan Karangasem menyerang Pejanggik, sementara Babad Seleparang memandang latar belakang pemberontakan didasari faktor internal ABG yang sedang galau menghadapi konflik keluarganya dengan Lala Junti. Mengenai kedudukan ABG selama di Pejanggik, kedua Babad cenderung seragam,
Dari keragaman dan ketidakseragaman antara uraian dalam Babad Lombok dan Babad Seleparang tersebut sepertinya yang perlu dicatat adalah tiga kali penyerangan ke Lombok (Seleparang) yang dilakukan oleh Bali melalui Gelgel selalu gagal (1520, 1530 1677, dan 1678 (Lukman 2003: 18 dan 20). Dengan demikian peran ABG dapat dipandang telah meretas tembok kukuh pertahanan kerajaan di Lombok.
Keberhasilan kerja sama ABG dengan Bali (Karangasem) pertama kali ketika menyerang kerajaan Pejanggik hingga runtuh (sekitar 1722). Setelah keberhasilan tersebut, ABG kemudian membangun kerajaan di Memelak (kerajaan ABG). Tidak lama setelah kemenangan atas Pejanggik, ABG bersama dengan Kerajaan Karangasem kemudian menyerang Kerajaan Seleparang hingga runtuh pada tahun 1725.
Kerajaan Memelak yang di bangun ABG terletak di Praya saat ini. . ABG sendiri menyandang gelar Arya Banjar Getas I. Raja ABG I selanjutnya menurunkan trah raja-raja kerajaan Arya Banjar Getas mulai dari Raja Arya Banjar Getas II hingga Arya Banjar Getas VII.
Di sisi lain, pasca runtuhnya dua kerajaan besar di Lombok tersebut, karib ABG I yakni Kerajaan Karangasem yang telah membangun perpanjangan kekuasaannya di Mataram bernama Kerajaan Singasari (berkedudukan di Cakranegara sekarang-pen). Perlahan namun pasti, mulai menggerogoti kekuasaan Arya Banjar Getas, bahkan cenderung hendak menguasainya. Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhirnya sekitar tahun 1841, tepatnya pada masa pemerintahan Arya Banjar Getas VII, kerajaan ABG runtuh.
Meskipun kedudukan dan perannya cukup banyak dikupas dalam Babad Lombok maupun Babad Seleparang, tetapi tidak seperti raja-raja Lombok lainnya, ABG dalam banyak hal masih menjadi misteri yang belum bias terjawab dengan jelas hingga saat ini.
Dalam catatan di Babad Lombok maupun di Babad Seleparang, tidak sedikitpun informasi yang menjadi titik terang untuk mengusut asal-usul ABG. Tulisan berbentuk tafsiran dikemukakan oleh Azhar. Dalam bukunya, Azhar (2003: 21) menyebutkan Perigi-Wanasaba (Lombok) sebagai asal-usul ABG, argumentasi yang dikemukakan oleh Azhar, bahwa di daerah tersebut hingga saat ini, ditemukan desa bernama Desa Banjar Getas.
Dalam Babad Arya Gajah Para, ditemukan nama Arya Getas, yang merupakan keturunan kelima dari Sri Kameswara, ayah dari Sri Tunggul Ametung, dengan runutan sebagai berikut; Sri Kameswara berputra empat orang yakni Sri Kerta Dharma, Sri Tunggul Ametung, Dewi Ghori Puspa dan Sri Airlangga. Sri Airlangga kemudian menurunkan Sri Jayabaya dan Sri Jayabasha. Sri Jaya Baya memiliki tiga orang putera yakni Sri Dangdang Gendis, Sri Jayakatong dan Sri Jayakatha. Selanjutnya dari Sri Jayakatha menurunkan tiga orang anak yakni Arya Wayahan Dalem Menyeneng, Arya Katnagaran dan Arya Nudhata. Dari turunan inilah kemudian menurunkan Arya Gajah Para dan Arya Getas yang kemudian di dalam babad Arya Gajah Para disebutkan setelah kembali dari Jawa, menetap hingga memiliki keturunan 3 (tiga) orang, oleh raja Gelgel kemudian Arya Getas diperintahkan menyerang Seleparang.
Jika merunut dari geneologi raja-raja Singasari-Majapahit maka keturunan ke empat (kelima dari orang tua Tunggul Ametung) yang setara dengan Arya Getas adalah Jayanegara dengan angka tahun saka (1231-1250/1309-1389 M) Jafar (2009: Lampiran II).
Dalam keterangan sejarah, ketika abad ke-14 yakni masa pemerintahan Raja Hayamuruk, memang terdapat informasi bahwa sekembalinya dari sebuah pertemuan dengan raja-raja se Nusantara di kerajaan Majapahit, Raja Gelgel di berikan 40 orang pakadan (orang biasa) yang beragama Islam. Oleh raja Hayamuruk. Oleh raja, orang-orang tersebut selanjutnya ditempatkan di Desa Gelgel (Wawancara dengan tokoh agama Islam Desa Gelgel dan dr. Tjokorda Ratu Putra dari Puri Kelungkung, Dalam acara TVRI (Gema Azan Berkumandang di Desa Gelgel), direkam pada tanggal 21 Agustus 2009). Apakah Arya Getas adalah salah satu yang ikut diantara 40 orang yang kini menurunkan warga Desa Gelgel, tentu hal ini memerlukan penelitian lebih jauh.
Dari sumber yang termuat dalam babad Arya Gajah Para, ada beberapa hal yang perlu untuk diperjelas. Masa sebagaimana perkiraan tahun yang dibuat berdasarkan urutan geneologi merujuk pada genealogi raja Singasari-Majapahit menunjukkan bahwa masa Arya Getas dalam Babad tersebut adalah sekitar abad ke 14, sementara keruntuhan Pejanggik dan Seleparang yang melibatkan ABG terjadi antara tahun 1722-1725.
Sumber lain, dikemukakan oleh Agung , yang sepertinya merujuk kepada Babad Arya Gajah Para “Treh dari Arya Gajah Para (Arya Getas-pen-) di Bali. Keberadaannya di Lombok ialah menjadi telik tanem (mata-mata) raja Bali (dalem) Gelgel untuk mengetahui keadaan dan perkembangan di Lombok (dalam Azhar, 2003:22).
Bagaimanapun rancunya keterangan mengenai sosok ABG, yang perlu menjadi catatan adalah, kehadiran ABG dalam catatan sejarah Lombok kemudian menjadi langkah awal bagi keberhasilan Bali mencengkramkan penjajahannya hingga hampir dua abad di Lombok, bahkan dalam banyak hal, telah memasukkan juga unsur-unsur kebudayaannya dalam tradisi masyarakat Lombok semisal pembagian kasta dan ritual perkawinan (dari melaik, sorong serah aji karma), bentuk pakaian ada dan sebagainya. Dengan demikian, perlu kiranya untuk segera melirik kembali masa lalu guna meninjau apa saja yang masih tersisa dan apa saja yang merupakan adopsi dan adaptasi dalam kebudayaan sasak yang berkembang di Lombok saat ini, dengan demikian, segala persoalan baik keterbelakangan ekonomi, pendidikan, pertentangan internal etnis sasak dan beragam persoalan lain yang menghimpit generasi Sasak saat ini bisa dirunut akar persoalannya untuk kemudian secara bersama menatap masa depan dengan lebih baik.
Wallahualam
Semoga bermanfaat.