SELAMAT DATANG

Kamis, 16 September 2010

SORONG SERAH AJIKRAME
Sorong serah aji krame adalah sebuah ritual adat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian pernikahan di Pulau Lombok. Sorong serah aji krame secara harfiah diartikan ; pertama, suatu dorongan kepada kedua orang tua pengantin untuk menyerahkan atau melepaskan (Serah Terima) anak mereka untuk hidup berumah tangga sehingga, kedua pengantin tidak terikat pada orang tua mereka masing – masing, yang kedua, merupakan puncak sidang krame adat perkawinan untuk masyarakat (bangse) sasak. Oleh karena itu prosesi adat ini, akan dianggap syah apabila dihadiri ; para sesepuh, para tetua adat (penglingsir), dan kepala kampung (keliang), dari kedua pihak pengantin, baik dari pihak pengantin laki-laki maupun pihak pengantin perempuan.
Dalam proses sidang adat tersebut akan disampaikan kepada pihak-pihak yang telah disebutkan dan khalayak ramai bahwa kedua mempelai telah Syah bersuami Istri.
Prosesi sorong serah aji krame adalah bagian dari rangkaian panjang tradisi untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Lombok, diawali dengan prosesi midang, yakni prosesi adat yang sudah merupakan konvensi masyarakat Sasak dimana pihak laki-laki akan berkunjung kepada perempuan yang menurutnya menarik hati. Midang sendiri bukan dilaksanakan semata karena lelaki tersebut ingin menikahi perempuan yang di pidang, adakalanya pihak lelaki hanya sekedar iseng untuk mengisi malam sebelum ngantuk. Oleh karena itu, dalam tradisi midang, terdapat awig-awig yang mengatur tata cara midang. Secara umum, aturan-aturan itu meliputi; waktu berkunjung, lama berkunjung, tata cara berkunjung, dan sebagainya.
Jika terdapat kecocokan antara laki-laki yang midang dengan perempuan yang di-pidang, maka selanjutnya yang dilakukan adalah prosesi melaik (melarikan perempuan, dalam aturan umum seharusnya dilakukan pada malam hari-red). Dalam melaik, sangat tabu bagi masyarakat sasak untuk membawa perempuan calon isterinya tersebut untuk langsung ke rumah orang tua laki-laki. Dalam kepercayaan masyarakat Sasak, hal ini dilakukan untuk membuang sial, tetapi secara logika, ada kemungkinan hal ini dilakukan karena pihak laki-laki (calon pengantin) takut kepada orang tuanya, karena pada umumnya dalam tradisi masyarakat Sasak, keterbukaan untuk mengungkapkan keinginan menikah kepada orang tua jarang dilakukan, terutama pada masyarakat tempo dulu, (kondisi ini pada saat sekarang berkembang di masyarakat yang tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah -red)1. Oleh sebab itu maka sangat wajar ketika pihak pengantin laki-laki takut untuk membawa pengantin perempuannya untuk langsung ke rumah orang tuanya, disamping alasan mistik yang sudah disebutkan sebelumnya.
Sesampai dirumah tempat persembunyian (biasanya kerabat dekat orang tua pihak laki-laki), selanjutnya akan dilakukan prosesi merangkat yaitu suatu acara makan berdua sebagian awal dari sebuah proses perkawinan, acara merangkat ini, dilakukan langsung pada malam ketika kedua mempelai telah tiba. Dalam prosesi ini pengantin biasanya akan ditemani oleh satu orang perempuan tua atau salah seorang keluarga dekat dari calon pengantin laki (dulu disebut Inaq Umbaq/Ibu Angkat). Dikatakan merangkat karena makanan untuk calon mempelai disajikan dengan menggunakan satu wadah yang berisi satu butir telur ayam kampung, satu piring nasi, satu satu ekor ayam bakar panggangan lengkap dengan bumbunya (dulu wadahnya memakai dulang (piring dari kayu) dan ditutup dengan tembolaq daun duntal (tutup nasi dari daun lontar) berwarna merah. Pada saat makan tersebut, biasanya pihak laki-laki atau Inaq Umbaq (ibu angkat) akan bercerita tentang situasi keluarga, keadaan kampung, keadaan masyarakat kampungnya dan lain-lain, adapun maksud dari, penyampaian itu supaya calon pengantin wanita mengetahui situasi, kondisi, serta budaya dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat. Acara ini kemudian akan diramaikan kaum muda-mudi yang datang untuk menyaksikan calon pengantin wanita sambil membawa rokok, ayam, telur, gula, kopi, teh dan lain-lain, sebagai bentuk solidaritas kepada kawannya yang telah menikah.
Setelah berselang minimal 3 (tiga) hari dan maksimal 5 (lima) hari maka akan dilakukan proses sejati. Sejati merupakan proses penyampaian informasi/pemberitahuan pihak keluarga laki-laki bersama perangkat desa (biasanya oleh kepala kampung) kepada kepala desa pihak pengantin perempuan (Pengamong Krame) yang selanjutnya informasi akan dilanjutkan kepada kepala dusun atau keliang (Pengemban Krame), tentang prosesi melaik yang telah dilakukan anggota masyarakatnya, terhadap seorang perempuan dari warga di kampung tersebut.
Prosesi selanjutnya adalah selabar (sebar kabar). Selabar ini dilakukan setelah proses sejati selesai dijalankan dan diterima dengan baik oleh pihak pemerintah desa atau Keliang. Tujuan selabar dapat langsung kepada orang tua dan sanak saudara calon pengantin wanita melalui keliang selaku pendamping keluarga selaku penanggung jawab pemerintahan yang ada di dusun atau kampung tersebut.
Prosesi selanjutnya adalah nuntut wali (meminta wali), dalam pelaksanaan nuntut wali, apabila hal-hal yang penting di dalam adat proses adat sudah selesai dibicarakan, maka wali (ayah, paman, kakak dari si pengantin perempuan) sudah bisa diajak untuk mengawinkan kedua calon pengantin (biasanya ditempat pengantin laki-laki) proses ini tentunya setelah melewati musyawarah dari kedua belah pihak keluarga calon pengantin wanita dan keluarga calon pengantin laki. Wali di jemput oleh beberapa orang dari pihak pengantin laki dan membawa seorang pemuka agama, Kyai, Ustad, atau Tuan Guru, yang akan bertindak sebagai penghulu.
Selanjutnya adalah prosesi rebaq pucuk, bait janji, nunas panutan, artinya meminta kepatutan atau kewajaran untuk biaya selamatan atau syukuran. Prosesi ini dilakukan oleh pihak perempuan, prosesi ini biasanya berbentuk musyawarah yang dilakukan pihak keluarga pengantin wanita yang bertujuan untuk menyepakati finansial yang akan dibebankan kepada pihak keluarga laki-laki berkaitan dengan prosesi syukuran yang juga akan dilakukan oleh pihak keluarga perempuan. Prosesi ini biasanya dilakukan setelah ada kepastian waktu pelaksanaan prosesi syukuran yang akan dilaksanakan oleh keluarga pihak pengantin laki-laki.
Prosesi berikutnya adalah sedawuh. Sedawuh dilakukan 7 hari sebelum hari syukuran (gawe). Prosesi sedawuh ini dilaksanakan oleh pihak pengantin laki dengan mengutuskan 1 atau 2 orang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga pengantin perempuan tentang kesiapan mereka untuk menjalani karya adat (syukuran) dan yang paling utama yang dibicarakan adalah tentang ketetapan hari ( H ), lambang adat aji krame atau aturan diluar aji krame dan tata cara nyongkol2.
Serangkaian dengan acara nyongkol tersebut, dilaksanakan acara sorong serah aji krame. Prosesi sorong serah aji krame dapat dipandang sebagai sidang adat yang berlangsung untuk membahas segala persoalan yang berkaitan dengan prosesi pernikahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan semua hal dari sejak prosesi midang, melaik dan seterusnya hingga acara sorong serah itu berlangsung. Segala hal yang tidak sesuai yang pernah dilakukan baik oleh pengantin laki-laki baik terhadap keluarga isterinya, terhadap saingannya sewaktu masih menjalani prosesi midang, maupun kesalahan-kesalahan adat yang disebabkan perbedaan tafsir adat masing-masing pihak, semuanya akan dibahas dalam sidang tersebut, sehingga pada akhirnya semua pihak akan secara ikhlas menutup segala hal yang telah berlalu dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pengantin untuk memulai hidup mereka dengan tanpa ada lagi ganjalan-ganjalan baik dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan adat.
Prosesi adat sorong serah biasanya dipimpin pembayun dari pihak laki-laki dan pembayun dari pihak perempuan. Kedua pembayun awalnya akan berdebat tentang berbagai hal, kemudian membahas pelanggaran-pelanggaran adat yang pernah terjadi (jika ada), terutama yang dilakukan oleh pihak dari laki-laki, kemudian menyelesaikannya secara adat. Penyelesaian secara adat ini biasanya disimbolkan dengan ketentuan membayar sejumlah denda adat yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki, disamping itu, dalam prosesi ini juga akan membayar aji krame (harga krame mulai dari 33, 66, hingga yang tertinggi 99=100).
Harga aji krame sendiri biasanya merupakan kesepakatan yang terlah diturunkan oleh leluhur berdasarkan kelompok masyarakat tersebut 3. Dalam pelaksanaannya Sorong serah aji krame, didominasi penggunaan bahasa jawa kuno atau kalau dalam istilah masyarakat Lombok dikenal dengan istilah bahasa Jawi. Disampaing dalam sorong serah tersebut persoalan-persoalan yang dibahas biasanya menggunakan bahasa Jawi yang diawali, diselingi dan ditutup dengan tembang-tembang yang dilagukan dengan begitu merdu sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar untuk berkumpul menyaksikan prosesi adat tersebut, walaupun sebenarnya secara detail, masyarakat tidak mengerti dan memahami apa yang dibahas dalam prosesi tersebut, tetapi keindahan tembang dan kemerduan penyampaian prosesi tersebut yang dibarengi oleh tembang-tembang kemudian menjadi pemikat tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar